PANGGUNG politik itu seperti orang sakit. Dia harus minum obat tiga kali sehari. Apapun sakitnya, resepnya sama: hasil survei. Jika politisi sehat dengan hasil survei, kita, masyarakat justru semakin muak.
Kenapa kita muak? Karena kita ikut “mencium bau busuk” obat-obat itu. Hampir saban hari, ketika kita membaca informasi, selalu saja ada hasil survei pemilu. Kita seperti orang sakit, mual membaca hasil survei itu.
Kenapa? Pertama karena pemilu, termasuk pemilihan presiden di dalamnya, masih sangat jauh. Masih hampir tiga tahun lagi. Kalaupun ada yang melakukan survei, maka dipastikan hasilnya masih sumir karena rentang waktu yang luar biasa panjang.
Baca Juga: Sikap Kami: Persib di Kompetisi Aneh
Kedua, karena setiap hasil survei, hasilnya selalu berbeda, meski metodologi, jumlah responden, dan tingkat kesalahannya hampir sama. Kalau hasilnya beda-beda tipis, tentu kita maklum. Tapi, kalau hasil survei satu lembaga dengan lembaga lain jauh berbeda, maka patut kita bercuriga adalah salah satu yang tak taat asas survei.
Dua minggu lalu, misalnya, hasil survei menghasilkan tokoh A di posisi teratas. Minggu lalu, sang tokoh sudah berada di posisi keenam atau ketujuh. Prosentase keterpilihannya pun sangat rendah. Bukankah tak mungkin masyarakat berubah dalam sekejap?
Survei diadakan adalah untuk memetakan apa yang hendak dipetakan. Tapi, tatkala peta survei diacak-acak, maka itu jelas tak bisa diterima akal sehat. Apalagi, kalau kemudian ada “pemodal yang tak pernah disebut” di belakangnya.
Baca Juga: Sikap Kami: Pemimpin yang Tak Diinginkan
Menyelenggarakan survei bukanlah pekerjaan yang murah. Dia butuh dukungan finansial tak sedikit. Sekitar 10 tahun lalu saja, untuk daerah dengan penduduk sedikit dan wilayah luas, nilai proyeknya sekitar Rp300 juta. Apalagi seluruh Indonesia.
Artikel Terkait
Sikap Kami: Robin Hood Salah Jalan
Sikap Kami: 404 : Not Found
Sikap Kami: Imunitas di Pengadilan
Sikap Kami: Menangislah Cimahi
Sikap Kami: Masih Perlukah PPKM?
Sikap Kami: 'Surga' Kita, Rumah Kita