KETIKA Bung Karno, Bung Hatta, dan bapak-bapak bangsa memerdekakan Republik ini, tak ada kelompok manapun yang hendak diistimewakan. Karena itu, jika ada yang menyebut mereka istimewa dalam kehidupan berbangsa, bahkan hingga kini, itu adalah sesat pikir, sesat rasa.
Pun jika ada yang menyebut Kementerian Agama adalah hadiah untuk kelompok tertentu. Itu juga sesat pikir. Gede rasa, kata generasi dekade 1990-an. Entah apapun maksudnya, di mana pun yang menyampaikannya, apalagi jika yang mengatakan pejabat negara, maka itu adalah kesesatan.
Pertama jika kita lihat historisnya. Semua kelompok, bahkan kelompok lain lebih dominan, saat Kementerian Agama diusulkan ada dalam pemerintahan. Dia diusulkan karena ketuhanan adalah salah satu dasar negara kita. Jadi, harus ada bagian yang diurus pemerintah. Semua agama, semua kelompok.
Kedua, jika dia hadiah, berapapun tanda petik mengapit kata hadiah, itu juga sesat pikir. Jelas, kementerian apapun, termasuk Kementerian Agama, diadakan untuk mengurus kehidupan bermasyarakat. Jadi, tak ada kementerian tanpa kepentingan masyarakat banyak, golongan-pergolongan.
Baca Juga: Sikap Kami: Durian Runtuh Jabar
Pernyataan seperti itu tak perlu dibela. Oleh siapapun. Sebab, dia tak mengandung kebenaran. Entah di manapun menyampaikannya. Apalagi jika yang menyampaikannya adalah pejabat negara.
Alih-alih mengandung kebenaran, dia malah membuat gaduh. Membuat umat beragama saling bertengkar. Jelas, itu bukan perbuatan yang layak dilakukan pejabat negara. Seorang pejabat negara, semestinya menyampaikan kebenaran, menyuarakan kesejukan, terutama di tengah beragamnya Nusantara ini.
Kita sangat menyesalkan pernyataan-pernyataan semacam itu masih muncul. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
Baca Juga: Sikap Kami: Kultur Bonus
Artikel Terkait
Sikap Kami: Meluruskan Investasi
Sikap Kami: Berkaca dari Papua
Sikap Kami: Tak Tembak Kamu!
Sikap Kami: PPKM yang Membingungkan
Sikap Kami: Tentang Survei Emil
Sikap Kami: Juara Lahir Batin di Papua