TUKANG survei itu profesi terhormat. Yang tak terhormat itu sebagian pelakunya. Tak terhormat karena mereka salah langkah. Tak menjaga kehormatan profesinya.
Tukang survei itu ibarat tukang wasit di lapangan bola. Dia dinilai dari harkat dan martabatnya. Dasarnya adalah kejujuran. Tidak berpihak. Sportivitas. Fair play. Kalau sudah berpihak, “wasitnya” hilang, yang tersisa tinggal “tukangnya”. Hilang kehormatannya.
Itu sebabnya, ketika jadi wasit –terbaik di dunia—Pierluigi Collina tak pernah secara terbuka menyatakan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap tim. Itu sebabnya wasit legendaris Inggris, Graham Poll, baru bisa berkomentar soal wasit, tim, pemain, pelatih, setelah dia pensiun.
Bagaimana dengan tukang survei di Indonesia? Sudah lebih banyak yang jadi “tukang” ketimbang jadi surveyor. Kejujurannya tak terlihat. Keberpihakannya terang benderang terlihat.
Baca Juga: Sikap Kami: Demo? Ke Jakarta Saja!
Misalnya begini, ada tukang survei yang dalam pernyataan-pernyataannya menyerang salah satu tokoh politik. Itu patut diduga sebagai surveyor yang harga dirinya sudah tergadai.
Betapapun tukang survei tidak suka –atau sebaliknya sangat suka-- terhadap tokoh politik, maka dia sebaik-baiknya menyembunyikannya. Cukup dia yang tahu. Tak perlu diumbar di ruang terbuka.
Sebab, jika perasaan itu sudah dia ungkap ke hadapan publik, maka hasil surveinya patut diduga sudah tidak fair lagi. Sudah banyak kepentingan. Paling tidak, kepentingan politik personalnya. Belum lagi kepentingan pemodal survei, sesuatu yang sangat jarang secara terbuka diungkap tukang survei.
Baca Juga: Sikap Kami: Pidato Sampah Giring
Artikel Terkait
Sikap Kami: Ini Bukan Prank
Sikap Kami: Euforia Mandalika
Sikap Kami: Sami Sade Mengindonesia
Sikap Kami: Gimik Politik
Sikap Kami: Anies-Emil, Oke!
Sikap Kami: Atalia
Sikap Kami: Asa dari Desa