JIKA saja kontestasi demokrasi berjalan dengan modern dan cerdas, maka duet Anies Baswedan-Ridwan Kamil, atau sebaliknya, adalah pilihan yang jitu. Hanya saja, kontestasi seperti itu di negeri kita masih berlangsung dalam pola yang sangat tradisional.
Sulit terbantahkan, Anies maupun Emil adalah dua kepala daerah di Indonesia yang menonjol. Bukan karena pencitraan, tapi hasil kerjanya. Selain hasil-hasil yang terbukti di lapangan, dalam berbagai kesempatan, hasil kerja mereka juga membuahkan apresiasi.
Keduanya juga perlambang manusia Indonesia seutuhnya. Manusia dengan kultur tak hendak menonjolkan diri, tak hendak menepuk dada, apalagi memanipulasi berbagai fakta untuk kepentingan pencitraan.
Karena itu, dukungan dari berbagai pihak, termasuk di Jawa Barat, adalah sebuah logika teori kebangsaan yang tepat. Siapa lagikah yang bisa kita percayakan memimpin negeri ini jika bukan putra-putra terbaik?
Baca Juga: Anies Baswedan-Ridwan Kamil Bukan Boneka Oligarki!
Sayangnya, praktik-praktik politik di negeri kita, memiliki kecenderungan mengabaikan teori kemaslahatan kebangsaan itu. Politik seolah semata-mata soal kepentingan orang-perorang, kelompok-kelompok.
Maka, sulitlah dalam kontestasi demokrasi seperti Pemilihan Presiden dan turunannya, kita mendapatkan pemimpin-pemimpin terbaik. Sebab, pada praktiknya, landasan kontestasi itu bukan untuk kepentingan negara, melainkan kelompok-kelompok.
Kita, sekali lagi, hanya hidup di tengah-tengah slogan tanpa makna karena tidak dijiwai secara utuh. Kita bilang, kita NKRI, tapi dalam praktik-praktik kehidupan, kita diikat oleh primordialisme yang akut. Bahkan, kadang-kadang menyerempat SARA.
Artikel Terkait
Sikap Kami: Anies-Emil, Oke!
Sikap Kami: Pidato Sampah Giring
Sikap Kami: Tukang Survei
Sikap Kami: Ali Sadikin
Sikap Kami: Karena Kita Budeg
Sikap Kami: 'Jualan' Emil
Sikap Kami: Penalti di JIS
Sikap Kami: Politisi Bebal