MULAI sekarang, apapun yang dilakukan politisi “kelas capres” pasti dikaitkan dengan kontestasi 2024. Termasuk Ridwan Kamil. Airlangga Hartarto juga. Tapi, mungkinkah keduanya bersanding?
Berkali-kali Ridwan Kamil menyatakan kontestasi demokrasi itu ibarat perjodohan paksa. Bak Siti Nurbaya. Seseorang figur tak bisa memilih. Yang memilihkan adalah partai politik. Mereka yang punya tiket.
Karena itu, meski keinginannya ada, dia pun sadar dengan kondisinya. Salah satunya, karena hingga saat ini dia belum berpartai juga. Dia menyebutnya sebagai takdir. Itulah penentu setelah ikhtiar dan doa.
Adakah pertemuannya dengan Airlangga pada Minggu lalu adalah salah satu ikhtiar. Sebagian publik melihatnya seperti itu. Bahwa kemudian para pihak menyatakan silaturahmi, bagi publik itu hanya bungkus, wajar saja. Bukankah politik juga butuh silaturahmi?
Baca Juga: Sikap Kami: Anies-Emil dan Demokrasi Absurd
Emil dan Airlangga sebenarnya politisi bernasib serupa meski tak sama. Airlangga punya partai, tapi tidak elektabilitas. Emil punya elektabilitas –bahkan dua besar cawapres, tapi tak punya parpol.
Ruang KIB itu sesungguhnya ada bagi dirinya setelah sejumlah poros parpol memberi tanda-tanda negatif. Partai Nasdem, misalnya, cenderung memilih Anies Baswedan. Gerindra sudah pasti Prabowo Subianto. PDIP naga-naganya Puan Maharani.
Airlangga? Galau. Di tengah kegalauan, dia menemukan cara. Membentuk Koalisi Indonesia Bersatu bersama PAN dan PPP. Secara persyaratan kursi, koalisi ini memenuhi syarat.
Baca Juga: Sikap Kami: Tergila-gila WTP
Artikel Terkait
Sikap Kami: Bahlul
Sikap Kami: Kumaha Aing
Sikap Kami: Ganti Anggota DPR, Pak!
Sikap Kami: Ali Sadikin
Sikap Kami: Karena Kita Budeg
Sikap Kami: 'Jualan' Emil
Sikap Kami: Politisi Bebal
Sikap Kami: Negara Pura-pura
Sikap Kami: Noel dan 'Dosa' BUMN